Ibrahim Muda: Kritik Ketuhanan Masyarakat Babil

ibrahim muda

Ibrahim Muda, Nabi yang Tumbuh di Kota Babilonia

Oleh : Fajar Lainoufar
Nabi Ibrahim, beliau lahir dan tumbuh di kota besar, Babil. Kota dengan peradaban paling maju kala itu. Kota dimana taman gantung dibangun agar istri seorang raja tak rindu kampung halamannya. Kota dengan hukum yg tegas dan tak pandang bulu. Kota yg disegani karena keindahan dan kekuatannya.

Sayangnya penduduk kota tidak semaju itu dalam menalar ketuhanan. Sayang sekali, mereka menyembah apapun yg terlihat lebih kuat dan berkuasa. Anak menyembah ibu, istri menyembah suami, para pria menyembah raja, dan raja menyembah patung raksasa. Juga sayang sekali, bapak lakon kita kali ini adalah seorang seniman pembuat patung berhala.

Ibrahim muda kala itu menguji nalar kaumnya. Tak hanya ikut-ikutan kegiatan yg dianggap tradisi saja. Toh sebagian besar tradisi diciptakan penguasa untuk kepentingan tertentu; sektor wisata hingga propaganda. Ibrahim muda tak sedang mencari tuhan, dia sedang menarik benang merah logika yg janggal. Sama seperti para mahasiswa zaman sekarang — seharusnya.

Dia yakin, di atas besarnya patung, pasti ada yg lebih perkasa. Hingga nanti kekuatan absolut menemukan ujungnya.

Mulailah ia dengan gemintang di langit malam. Seandainya tuhan dilihat dari yg penampakan, bebintang tentu lebih memukau dari patung-patung. Meski mereka jauh, gugusannya mampu memenuhi langit dan bersinar berkelip.

Baca Juga : Teknologi AI di 2025, Berkah atau Musibah?

Ah, sayangnya bintang tak setia. Dia menghilang begitu fajar tiba, tersisa bintang fajar yg dikenal dengan Venus nantinya. Mana ada tuhan yg pulang dan pergi?

Berlanjut lah tadabbur itu pada rembulan sempurna. Tampak lebih besar, berpendar dalam durasi lebih lama. Inilah yg lebih hebat dari bintang-bintang. Selalu mengundang decak kagum, mengangkat volume air laut, hingga melindungi bumi dari kerikil langit.

Aduh, Luna juga pamit pergi. Hampir saja terbersit ingin menyembahnya. Untungnya Rabb alam semesta masih berkenan memberi petunjuk.

Ibrahim Muda Mengkritik Sesembahan Mereka yang Tak Sempurna

Akhirnya Baskara menampakkan diri. Terlihat lebih besar, lebih bersinar, menghangatkan badan, menguatkan tulang, membunuh bakteri dan virus mematikan, juga menjadi sebab hijau tetumbuhan. Kali ini tak hanya besar, manfaatnya lebih terasa di indra manusia.

Di akhir cerita, Helios tak lagi berdiri gagah di puncak langit. Matahari terbenam. Tuhan macam apa yg tenggelam oleh ufuk dan meninggalkan kegelapan? Mau dibuat patungnya pun Mentari tetaplah fana, tergantikan malam, menunggu giliran untuk kembali di atas sana.

Ibrahim muda berkesimpulan, tuhan yg selayaknya disembah adalah Dia yg menciptakan semuanya. Masa jayanya tidak terbatas, kekuasaannya tak akan runtuh oleh malam, siang, atau apapun. Dengan begitu, thesis masyarakat tentang ketuhanan harus segera diluruskan. Karena ketuhanan adalah puncak dari sila-sila di bawahnya.

Lingkungan yg paling tidak ideal untuk logika sekalipun adalah lingkungan yg paling bisa mengasah ketajaman nalar. Tinggal bagaimana kita mengarahkan mata pisaunya. Mulailah dari mempertanyakan hal-hal dasar, menata pola pikir, dan menguji thesis yg telah lama bercokol dalam hati orang-orang.

Jangan lupa, kita sendiri juga “orang”. Kritis juga perlu diarahkan pada hipotesis yg kita percaya. Mulailah dengan “Kenapa?” dan “Bagaimana kalau?”.

Referensi:

Tafsirul Muniir. Tafsir Ibnu Katsir, Shofwatut Tafaasir

  • Post author:
  • Reading time:3 mins read

This Post Has 2 Comments

  1. zoritoler imol

    I’m curious to find out what blog system you are working with? I’m having some minor security issues with my latest website and I’d like to find something more risk-free. Do you have any recommendations?

Tinggalkan Balasan